Pages

25 May 2014

Keajaiban para ulama dalam menuntut ilmu

Keajaiban para ulama dalam menuntut ilmu


MUQODDIMAH
Segala Puji hanya milik Alloh, kita memuji-Nya,meminta pertolongan dan mohon ampunankepada-Nya. Dan kita berlindung kepada Allohdari kejelekan-kejelekan jiwa kita, dan keburukan-keburukan amalan kita. Barang siapa yang diberipetunjuk oleh Alloh maka tidak ada yang mampumenyesatkannya. Dan barang siapa yang disesatkan-Nya maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk.Dan aku bersaksi bahwa tidak ada yang berhakuntuk disembah kecuali Alloh dan aku bersaksi bahwaMuhammad itu adalah hamba dan utusan-Nya

Ilmu adalah  pedoman untuk mencapai segala kebaikan di dunia dan akhirat, dengan ilmu manusia bisa membedakan mana yang hak dan mana yang batil, dengan ilmu pula manusia bisa membedakan mana yang ibadah dan mana yang bukan ibadah, mana yang syirik dan mana yang tauhid, mana yang sunnah dan mana yang bid'ah, mana yang di atas keta'atan dan mana yang di atas kemaksiatan dan kebodohan adalah sebaliknya, oleh karenanya islam sangat menganjurkan umatnya untuk menuntut ilmu, rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
Menuntut ilmu merupakan kewajiban atas setiap muslim. (HR. Ibnu Majah, no:224, dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani di dalam Shahih Ibni Majah)
Demikian juga Alloh Ta’ala memerintahkan kepada umat untuk bertanya kepada ulama mereka. Firman Alloh:
فَسْئَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui. (QS. 21:7)
Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata: “Telah diketahui bahwa ilmu yang diwariskan oleh para Nabi adalah ilmu syari’at Allah ‘Azza wa Jalla, bukan lainnya. Sehinga para Nabi tidaklah mewariskan ilmu tekhnologi dan yang berkaitan dengannya kepada manusia.” (Kitabul ilmi, hal: 11, karya Syeikh Al-Utsaimin)
Ini bukan berarti bahwa ilmu dunia itu terlarang atau tidak berfaedah. Bahkan ilmu dunia yang dibutuhkan oleh umat juga perlu dipelajari dengan niat yang baik.

keutamaan ilmu syar'i
Islam adalah agama ilmu karena islam adalah agama yang di bangun diatas wahyu, Islam telah mewajibkan umatnya untuk belajar, Bahkan perintah berilmu merupakan perintah pertama yang dibebankan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan umatnya sebagimana dalam surat Al-‘Alaq: 1-5.
Imam Al-Bukhari, bahkan menuliskan satu bab khusus dalam Shahih-nya, yaitu bab “Al-Ilmu qabla Al-Qauli wa Al-‘Amal (kewajiban berilmu sebelum berbicara dan beramal). Beliau berdalilkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berbunyi,
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ 
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Illah (sesembahan, Tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu. (Muhammad: 19)
Dan Allah Ta'ala telah melebihkan orang orang yang berilmu dari pada yang lainnya Allah ta'ala berfirman:
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لاَ يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الأَلْبَابِ
"Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran." (Az-Zumar:9)
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
"Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu (agama) beberapa derajat." (Al-Mujaadilah:11)
Al Hafizh menjelaskan, “Ada yang mengatakan tentang tafsirannya adalah: Allah akan mengangkat kedudukan orang beriman yang berilmu dibandingkan orang beriman yang tidak berilmu. Dan pengangkatan derajat ini menunjukkan adanya sebuah keutamaan…” (Fathul Bari, 1/172).
Ibnu Katsir menyebutkan di dalam tafsirnya sebuah riwayat dari Abu Thufail Amir bin Watsilah yang menceritakan bahwa Nafi’ bin Abdul Harits pernah bertemu dengan Umar bin Khattab di ‘Isfan (nama sebuah tempat, pen). Ketika itu Umar mengangkatnya sebagai gubernur Mekah. Umar pun berkata kepadanya, “Siapakah orang yang kamu serahi urusan untuk memimpin penduduk lembah itu?”. Dia mengatakan, “Orang yang saya angkat sebagai pemimpin mereka adalah Ibnu Abza; salah seorang bekas budak kami.” Maka Umar mengatakan, “Apakah kamu mengangkat seorang bekas budak untuk memimpin mereka?”. Dia pun menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, sungguh dia adalah orang yang pandai memahami Kitabullah, mendalami ilmu waris, dan juga seorang hakim.” Umar radhiyallahu’anhu menimpali ucapannya, “Adapun Nabi kalian, sesungguhnya dia memang pernah bersabda, ‘Sesungguhnya Allah akan mengangkat kedudukan sekelompok orang dengan sebab Kitab ini, dan akan merendahkan sebagian lainnya karena kitab ini pula.’ (HR. Muslim).

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak di perintah Allah ta'ala untuk meminta tambahan terhadap sesuatu kecuali tambahan dalam ilmu. Allberfirman:
وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا
"Dan katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu (agama)." (Thaahaa:114)
dalam ayat ini sangat jelas Allah Subhaanahu Wa Ta'ala tidaklah memerintahkan Nabi-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam untuk meminta tambahan dari sesuatu kecuali meminta tambahan dari ilmu dan ilmu yang dimaksudkan di sini adalah ilmu syar'i yang akan menjadikan seorang hamba mengenal Rabbnya Subhaanah dan mengetahui apa-apa yang diwajibkan atas seorang mukallaf dari perkara agamanya dalam ibadah dan muamalahnya. (Fathul Baarii 1/141) Adapun kriteria Ilmu Syar’i adalah:
1. Ilmu yang diambil dari Al-Quran dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman Sholafush sholeh(generasi sahabat dan tabi’in serta tabi’ tabi’in)
2. Ilmu yang mengantarkan pemiliknya untuk taat kepada Allah, merasa diawasi oleh-Nya, takut kepada-Nya, dalam keadaan sendiri ataupun bersama orang lain. Abdullah bin Mas’ud berkata, “Bukanlah ilmu dengan banyaknya riwayat, tetapi ilmu adalah rasa takut (kepada Allah). (lihat al-Fawaid, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah)
3. Ilmu yang mendorong pelakunya untuk beramal dan mempraktekkan ilmunya, bukan sebatas pengetahuan atau penambah wawasan, atau sekedar meraih jabatan dan ijazah. Jangan lupa bahwasanya ilmu tanpa amal bagaikan pohon tanpa buah.
Di antara hadits-hadits tentang keutamaan ilmu adalah:
·         Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
مَنْ دَخَـلَ مَـسْجِـدَنَا هَـذَا لِيَتَعَلَّمَ خَيْرًا أَوْلِيُعَلِّمَهُ كَانَ كَالْمُجَاهِدِ فِي سَبِيْل اللهِ، وَمَنْ دَخَـلَهُ لِغَيْرِ ذَلِكَ كَانَ كَالنَّاظِرِ إِلَى مَالَيْسَ لَهُ
Artinya: “Barang siapa yang memasuki masjid kami ini (masjid Nabawi) dengan tujuan untuk mempelajari kebaikan atau mengajarkannya, dia ibarat seorang yang berjihad di jalan Allah. Dan barang siapa yang memasukinya dengan tujuan selain itu, dia ibarat orang yang sedang melihat sesuatu yang bukan miliknya.” [Hadits hasan, diriwayatkan oleh Ahmad (II/350, 526-527), Ibnu Majah (no. 227), Ibnu Hibban (no. 87-At-Ta’liqat), Ibnu Abi Syaibah (no. 3306), dan Al-Hakim (I/91),
Abud Darda radhiyallahu’anhu pernah berkata, “Barang siapa yang berpendapat bahwa perginya seseorang untuk menuntut ilmu itu tidak termasuk jihad, sungguh, dia kurang akalnya.” (Lihat Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 145) dan Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga hal. 45)
·         Dari Mu'awiyah radhiyallahu 'anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ
"Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan kepadanya, niscaya Allah akan pahamkan dia tentang agama(nya)." (Muttafaqun 'alaih)
Hadits di atas menyebutkan tentang keutamaan mempelajari ilmu syar’i dibandingkan ilmu-ilmu lainnya. Dan ini juga menunjukkan bahwa orang yang tidak diberikan pemahaman dalam agamanya adalah orang yang tidak dikehendaki kebaikannya oleh Allah. Sebaliknya orang yang dikehendaki kebaikannya oleh Allah maka Dia memberikannya pemahaman dalam agamanya. (Lihat Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu(hal. 49), Bahjatun Nazhirin (II/463), Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 36) dan Syarah Riyadhush Shalihin Terjemah (IV/ 286).
Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah pernah berkata, “Kebaikan di dunia adalah rizki yang baik dan ilmu, sedangkan kebaikan di akhirat adalah Surga.” (Lihat Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/230) dan Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga hal. 39).
·         Dari Abud Darda` radhiyallahu 'anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَطْلُبُ فِيْهِ عِلْمًا، سَلَكَ اللهُ بِهِ طَرِيْقًا مِنْ طُرُقِ الْجَنَّةِ، وَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا لِطَالِبِ الْعِلْمِ، وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الأَرْضِ، وَالْحِيْتَانُ فِي جَوْفِ الْمَاءِ، وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ، وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ، وَإِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْنَارًا وَلاَ دِرْهَمًا، إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ، فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
"Barangsiapa menempuh suatu jalan yang padanya dia mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan dia menempuh jalan dari jalan-jalan (menuju) jannah, dan sesungguhnya para malaikat benar-benar akan meletakkan sayap-sayapnya untuk penuntut ilmu, dan sesungguhnya seorang penuntut ilmu akan dimintakan ampun untuknya oleh makhluk-makhluk Allah yang di langit dan yang di bumi, sampai ikan yang ada di tengah lautan pun memintakan ampun untuknya. Dan sesungguhnya keutamaan seorang yang berilmu atas seorang yang ahli ibadah adalah seperti keutamaan bulan pada malam purnama atas seluruh bintang, dan sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi, dan para Nabi tidaklah mewariskan dinar ataupun dirham, akan tetapi mereka hanyalah mewariskan ilmu, maka barangsiapa yang mengambilnya maka sungguh dia telah mengambil bagian yang sangat banyak." (HR. Abu Dawud no.3641, At-Tirmidziy no.2683, dan isnadnya hasan, lihat Jaami'ul Ushuul 8/6)
Makna kalimat “jalan untuk menuntut ilmu” mengandung dua makna, yaitu:
- Menempuh jalan untuk menuntut ilmu dalam artian yang sebenarnya, seperti berjalan kaki menuju majelis-majelis ilmu.
Menempuh jalan atau cara yang dapat mengantarkan seseorang untuk memperoleh ilmu syar’i, seperti membaca, menghapal, menela’ah, dan sebagainya.
Sedangkan kalimat “Allah memudahkan jalannya menuju Surga” mengandung dua makna yaitu:
Allah ta'ala akan memudahkan orang yang menuntut ilmu semata-mata karena mencari keridhaan Allah, mengambil manfaat, dan mengamalkannya, untuk memasuki Surga-Nya.
- Allah ta'ala akan memudahkan jalan baginya menuju Surga ketika melewati titian ash-shirathal mustaqimpada hari Kiamat dan memudahkannya dari berbagai kengerian pada sebelum dan sesudahnya. [LihatJami’ul ‘Ulum wal Hikam (II/297, Qawa’id wa Fawa’id minal Arba’in An-Nawawiyyah (hal. 316-317), danMenuntut Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 8-9)]
·         Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:
إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْ لَهُ
"Apabila seorang keturunan Adam meninggal dunia maka terputuslah amalnya kecuali dari tiga hal: shadaqah jariyyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau seorang anak shalih yang mendo'akannya." (HR. Muslim no.1631).
Hadits ini adalah dalil terkuat tentang keutamaan dan kemuliaan ilmu juga besarnya buah dari ilmu yang dimiliki seseorang. Karena pahala ilmu yang telah diajarkan kepada orang lain, akan tetap diterima oleh pemiliknya selama ilmu tersebut diamalkan oleh orang lain. Meskipun dia telah meninggal dunia dan seluruh amalannya telah terputus, namun akibat ilmu yang diajarkannya kepada orang lain membuatnya seolah-olah tetap hidup dan amalnya tidak terputus. Hal ini selain menjadi kenangan dan sanjungan bagi pemilik ilmu tersebut, juga menjadi kehidupan kedua baginya, karena dia tetap merasakan pahala yang mengalir untuknya ketika semua pahala amal perbuatan telah terputus darinya. Lihat Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 242)
Dan banyak lagi ayat dan hadits yang menganjurkan kita untuk terus menggali dan mencari ilmu karenakebutuhan kita terhadap ilmu sangatlah besar.  Oleh karena itulah Al-Imam Ahmad bin Hambal rahimahullahberkata :


الناس محتاجون إلى العلم أكثر من حاجتهم إلى الطعام و الشراب لأن الطعام والشراب يحتاج إليه في اليوم مرة أو مرتين والعلم يحتاج إليه بعدد الأنفاس
“Manusia membutuhkan ilmu lebih banyak dari pada butuhnya pada makanan dan minuman, dikarenakan kebutuhan seseorang terhadap makanan dan minumam dalam sehari sekali atau dua kali. Dan kebutuhan manusia terhadap ilmu sebanyak tarikan nafas.”
Dan Imam Syafi’i pernah ditanya, “Bagaimana semangat anda untuk ilmu?” Beliau menjawab, “Saya mendengar kalimat yang sebelumnya tidak pernah saya dengar, maka anggota tubuh saya yang lain ingin memiliki pandangan untuk bisa menikmati ilmu tersebut sebagaimana yang dirasakan telinga.” Lalu ditanya, “Bagaimana kerakusan anda kepada ilmu?” Beliau menjawab, “Seperti rakusnya orang penimbun harta, yang mencari kepuasan dengan hartanya.” “Bagaimana anda mencarinya?” beliau menjawab, “Sebagaimana seorang ibu mencari anaknya yang hilang, yang ia tidak memiliki anak lain, selain dia.” (lihat Tawaalit Ta’sis bi Manaqibi Muhammad bin Idris, Ibnu Hajar AL-Asqalani, hlm 106)

Tercelanya kebodohan dalam islam
Kebodohan dalam masalah agama mempunyai dampak jelek yang luar biasa, syaikhul islam ibnu taimiyyah berkata:
مَنْ عَبَدَ اللهَ بِجَهْلٍ , أَفْسَدَ أَكْثَرَ مِماَّ يُصْلِحُ
Barangsiapa beribadah kepada Allah dengan kebodohan, dia telah membuat kerusakan lebih banyak daripada membuat kebaikan. (Majmu’ Fatawa 25/281), bahkan kebodohan bisa mengantarkan pelakunya kepada kesyirikan, kekufuran, dan maksiat. Allah Subhaanahu wata’aala berfirman:
قُلْ أَفَغَيْرَ اللهِ تَأْمُرُونِي أَعْبُدُ أَيُّهَا الْجَاهِلُونَ
“ Katakanlah: maka apakah kamu menyuruh aku menyembah selain Allah, hai orang- orang yang tidak berpengetahuan.? “ ( Qs. Az- zumar: 64)
قَالُوا يَا مُوسَى اجْعَل لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ قَالَ إِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ
 “ Bani Israill berkata: Wahai Musa buatlah untuk kami sebuah sesembahan ( berhala) sebagai mana mereka mempunyai beberapa sesembahan ( berhala). Musa menjawab : “ sesungguhnya kamu itu kaum yang tidak mengetahui (bodoh terhadap Allah)…” (Qs. Al A’raaf : 138 )
Berkata Asy Syaikh Al Allamah Abdurahman As Sa’di Rahimahullah : “ Kebodohan mana yang lebih besar dari seseorang yang bodoh terhadap Rabbnya, Penciptanya dan ia ingin menyamakan Allah dengan selain Nya, dari orang yang tidak dapat memberikan manfaat dan mudharat (bahaya), tidak mematikan, tidak menghidupkan dan tidak memiliki hari perkumpulan (kiamat) “ (Taisirul Karimirrahman Syaikh Al Allamah Abdurahman As Sa’di pada ayat ini)
Bahkan kebodohan seseorang bisa menjadi sebab hilangnya nyawa orang lain. Dan dalam sebuah hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :
عَنْ جَابِرٍ قَالَ خَرَجْنَا فِى سَفَرٍ فَأَصَابَ رَجُلاً مِنَّا حَجَرٌ فَشَجَّهُ فِى رَأْسِهِ ثُمَّ احْتَلَمَ فَسَأَلَ أَصْحَابَهُ فَقَالَ هَلْ تَجِدُونَ لِى رُخْصَةً فِى التَّيَمُّمِ فَقَالُوا مَا نَجِدُ لَكَ رُخْصَةً وَأَنْتَ تَقْدِرُ عَلَى الْمَاءِ فَاغْتَسَلَ فَمَاتَ فَلَمَّا قَدِمْنَا عَلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلمأُخْبِرَ بِذَلِكَ فَقَالَ « قَتَلُوهُ قَتَلَهُمُ اللَّهُ أَلاَّ سَأَلُوا إِذْ لَمْ يَعْلَمُوا فَإِنَّمَا شِفَاءُ الْعِىِّ السُّؤَالُ إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيهِ أَنْ يَتَيَمَّمَ
“Dari Jabir berkata: “Kami keluar pada sebuah perjalanan, lalu salah seorang diantara kami tertimpa sebuah batu sampai melukai kepalanya kemudian ia mimpi basah lalu bertanya kepada para shahabatnya, apakah kalian mendapatkan rukhsah (keringanan) bagiku untuk bertayamum? Mereka menjawab : ‘kami tidak mendapatkan rukhsah untukmu, sedangkan engkau mampu menggunakan air. Kemudian ia mandi besar sehingga meningal dunia. Kemudian tatkala sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam, kejadian tersebut dikhabarkan kepada beliau. Maka beliau bersabda : “Mereka telah membunuhnya, semoga Allah membinasakan mereka. Mengapa mereka tidak bertanya, bila mereka tidak mengetahui. Karena sesungguhnya obat kebodohan adalah bertanya.” (HR. Abu Dawud, di Hasankan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shahih Abu Dawud : 2/159)
Berkata Ibnul Qayyim rahimahullaah :
ولا ريب ان الجهل اصل كل فساد وكل ضرر يلحق العبد في دنياه واخراه فهو نتيجة
“Tidaklah diragukan bahwasanya kebodohan adalah pokok dari segala kerusakan dan dhoror (bahaya), kejelekan yang didapatkan oleh seorang hamba di dunia dan di akhirat adalah dampak dari kebodohan.”(Miftaah Daaris Sa’adah, 1/87).



ketinggian ilmu dan keajaiban para penuntutnya
1. Anjuran menggali dan memperbanyak ilmu dalam islam
Allah Ta'ala  berfirman:
وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا
"Dan katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu (agama)." (Thaahaa:114).
Berkata Imam Ibnu qoyyim: cukuplah ayat ini merupakan ketinggian dan kemulyaan  ilmu, ketika Allah ta'ala memerintahkan nabinya ituk berdo'a agar meminta tambahan ilmu (Miftah dari sa'adah 1/223). berkata sebagian para ulama bahwa nabi tidak pernah meminta tambahan kepada Allah ta'ala kecuali ilmu.
Berkata Al Mawardiy dalam kitab adabud dunya wa din 124: dari Ibnu Abbas beliau berkata: kalaulah seseorang merasa cukup dengan apa yang dia peroleh dari ilmu, tentu Nabi Musa sudah dianggap cukup dengan ilmu yang ia miliki dan ttidak perlu harus mengatakan kepada nabi khidir
قَالَ لَهُ مُوسَى هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا
Musa berkata kepada Khidhr:` Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu? `(Al kahfi: 66).

Semangat para sahabat dan  ulama salaf dalam menambah ilmu.
1. Ketekunan sahabat Abdullah bin Mas’ud. Ia hampir tidak pernah tertinggal dari kegiatan Rasulullahshallallahu ‘alihi wasallam, dalam berbagai keadaan. Dialah salah satu sahabat yang selalu mempersiapkan sandal Nabi shallallahu ‘alihi wasallam, membantu keperluan dan menyediakan air wudhunya. Sampai ia berkata, ”Tidaklah ada satu surat dan ayat Al Qur’an diturunkan, kecuali aku mengetahui dimana dan kapan diturunkan serta mengenai masalah apa ayat tersebut berkaitan. Sungguh, seandainya ada orang yang lebih alim tentang Al Qur’an, niscaya aku akan belajar kepadanya walau dengan menunggang unta yang jauh jaraknya.” Karena kecemerlangannya dalam ilmu agama, ia dijuluki sebagai ulamanya para sahabat.(HR. Bukhori 5002 dan Muslim 2463)
2. ketekunan Umar bin Khathtab yang disibukkan dengan perdagangan tidaklah lepas kesungguhannya untuk terus mempelajari ilmu dari Rasulullah. Ia bergantian dengan sahabat Anshor Bani Umayyah bin Zaid mendatangi majelisnya Nabi. Demikian juga yang lainnya, jika salah seorang berhalangan, maka akan bertanya kepada yang hadir.
Imam Bukhori meriwayatkan dalam kitab sohihnya , dari Umar Rodiyallohu anhu berkata : Dulu saya dan tetangga saya seorang ansor dari(keluarga) bani umayyah bin zaid salah satu kampung (dibagian timur) madinah, kami bergantian datang kepada Rosululloh Sollallohu alaihi wasallam , dia turun sehari dan saya sehari, bila dia turun aku datang padanya menanyakan kabar hari itu dari wahyu atau yang lainnya, jika aku turun dia melakukan seperti itu juga.(fathul bari 1/167)

3. ketekunan Mu'adz Bin Jabal Rodiyallohu 'anhu sehingga di gelari  Penghulu para Ulama'
Di antara keutamaan Mu'adz Bin Jabal dia adalah juru tulis Alqur'an sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Tirmidzi dari anas Bin Malik berkata : Alqur'an dikumpulkan pada masa Rosululloh oleh 4 orang , mereka semua dari Anshor , Ubayy Ibnu Ka'ab , Mu'adz Bin Jabal , Zaid Bin Tsabit dan Abu Zaid salah satu pamanku".
keutamaan yang lainnya Perintah Rosululloh untuk mengambil Alquran dari Mu'adz Bin Jabal sebagiman diriwayatkan oleh Imam Bukhori Muslim dan Tirmidzi dari Abdulloh Bin Amru Semoga Alloh meridoi keduanya ,Rosululloh Sollallohu alaihi wasallam bersabda : ambillah alqur'an dari 4 orang ,Ibnu Mas'ud ,Ubay ,Mu'adz Bin Jabal dan Salim maula  Abi Hudzaefah.
bahkan Mu'adz Bin Jabal Paling 'alim tentang halal dan haram sebagaiman di riwayatkan  dari Abu Sa'ied Alkhudri Rodiyallohu 'anhu berkata : Rosululloh Sollallohu alaihi wasallam Bersabda :Mu'adz Bin Jabal adalah manusia yang paling mengetahui dengan apa yang diharamkan dan dihalalkan Alloh (HR ,Abu Nu'aem dalam kitab alhilyah ,di sohihkan oleh syaikh Albani dalam sohih aljami' no 5879).

Mu'adz Bin Jabal tahukah anda siapakah Mu'adz Bin Jabal? bagaimana beliau bisa dibarisan terdepan dari para ulama'?jika anda ingin tahu bagaimana tinggi semangat beliau untuk mendapatkan ilmu, lihatlah berapa umur beliau saat masuk islam dan berapa umurnya dikala meninggal dunia dan keddukannya dalam ilmu.
Imam Adzzahabi menuturkan dalam kitabnya Siyar a'laam An-nubala 1/445 , Atho' berkata: Mu'adz masuk islam saat itu dia berumur 18 tahun , beliau ikut pada baiat aqobah yang kedua dan sampai hijrah Rosululloh sollallohu alaihi wasallam baru ketemu lagi...lihatlah berapa lama waktu berlalu Mu'adz Bin Jabal tidak mendapatkan kenikmatan dekat dengan Rasululloh dan ilmu yang ia dapatkan dari Rosululloh , kemudian lihat berapa umurnya saat dia meninggal!!
Syaikh Albani menuturkan dalam kitab silsilah as-shohihah 3/83-84 : "diriwayatkan oleh Alhakim dengan sanad yang sohih dari malik Bin Anas Berkata: Mu'adz Bin Jabal meninggal  saat umurnya 28 tahun dan dia ditempat yang terdepan dihadapan para ulama" dan ini juga dikatakan oleh Adzzahabi.
dituturkan juga oleh Ibnul Musayyib : "Mu'adz diambil ruhnya saat berumur 33 atau 34 tahun" 
yang lebih masyhur adalah beliau meninggal saat umurnya 28 tahun....jadi waktu untuk menuntut ilmunya tidak sampai 10 tahun...tapi bersamaan dengan ini dia adalah imam para ulama bagaimana dia menggunakan waktunya sampai ia menjadi seperti ini!!
Dan banyak lagi para sahabat yang mereka habiskan hidupnya untuk imu dan menuntut ilamu walaupun mereka dalam kondisi sangat sibuk seperti Abu Bakar, Utsman dan Abdurrahman bin Auf (Radhiyallahu ‘anhu) mereka adalah orang orang yang sukses dalam bekerja (berdagang), namun tidak lupa menuntut ilmu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam.

Keteladan para ulama di dalam mencari dan menambah ilmu
- Di katakan bahwa sesungguhnya Sa’id bin Al Mussyayyib -rahimahullah- pernah berjalan berhari-hari dan bermalam untuk mencari satu buah hadits.
- Imam Malik bin Anas -rahimahullah- sangat cintanya kepada ilmu syar’i, hingga ia rela menjual sebagian atap kayu rumahnya untuk bekal menuntut ilmu.
- Tidak seorangpun pada zaman Imam Abdulloh Ibnu Mubarak -rahimahullah- yang lebih gigih menuntut ilmu selain dirinya. Dia pergi ke Yaman, Mesir, Syam, Basrah, Kuffah berjalan kaki.
- Imam Yahya bin Ma’in -rahimahullah- seorang ulama yang telah mencapai puncak ilmu hadits hingga dikenal sebagai Imam Jarh wa Ta’dil, beliau menghabiskan uang warisan ayahnya sebesar 1.050.000 Dirham (sejumlah uang yang amat besat nilainya ketika itu) untuk mencari hadits hingga tidak ada lagi harta yang dia miliki selain sandal yang dia pakai.
- Imam Al Bukhori -rahimahullah- pergi menemui para ahli hadits yang ada dibeberapa negeri: Khurasan, Iraq , Mesir, Syam , Hijaz dan lainnya, Beliau berkata,” Aku belajar kepada 1000 syaikh dari kalangan ulama, bahkan lebih. Aku tidak memiliki satu hadits pun kecuali kusebutkan Sanadnya.”

Tetap menambah ilmu waulaupun sibuk bekerja
Imam Abu Hanifah adalah seorang ulama fiqih, bersamaan dengan itu beliau tetap bekerja. Beliau memiliki perusahaan kain di rumahnya. Beliau menjadi orang yang kaya raya.
Imam Abdullah Ibnul Mubarak adalah Imam ahli hadits di negeri Khurasan. Beliau terkenal sebagai imam dalam masalah hadits, fiqih, wara’. Beliau adalah seorang pedagang.
Imam Ibnu Hubairah adalah seorang menteri di suatu kerajaan. Walaupun seorang menteri (yang biasanya sibuk) beliau tetap bersemangat menuntut ilmu sampai menjadi ulama. Beliau mendatangi ulama dan mengumpulkan kitab. Imam adz-Dzahabi mengatakan bahwa Imam Ibnu Hubairah bersemangat dalam mengumpulkan ilmu dan menulis. Kita mengetahui bahwa pada zaman kita, seorang menteri yang memiliki jabatan yang tinggi mereka lupa dengan ibadah dan menuntut ilmu. Akan tetapi Imam Ibnu Hubairah yang seorang menteri yang memiliki kedudukan tinggi tetap bersemangat dalam menuntut ilmu di tengah kesibukannya. Beliau menggabungkan antara menuntut ilmu dan bekerja.
Imam Hamzah bin Habib dikenal sebagai seorang imam dalam bacaan al-Qur’an. Pekerjaan beliau adalah berdagang minyak. Beliau membeli minyak di Kufah dan menjualnya di Mesir.
Imam Ya’qub bin Sufyan al-Fasawi adalah seorang Imam dalam hadits. Beliau belajar di siang hari dan bekerja di malam hari. Beliau bekerja sebagai penulis naskah (tukang catat naskah). Di zaman dahulu mesin percetakan buku belum ada. Maka pada masa itu jika seseorang ingin sebuah buku, maka dicatat oleh tukang catat.
Imam al-Marwazi beliau adalah ulama madzhab Syafi’i dan memiliki tulisan yang banyak. Beliau bekerja sebagai tukang kunci (gembok).
Imam Nawawi adalah penulis kitab Riyadhush Shalihin. Seorang imam yang terkenal. Beliau bekerja membantu orang tuanya menjaga warung kecil.
Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani beliau adalah seorang ahli hadits pada zaman ini. Pada masa mudanya adalah seorang tukang kayu. Kemudian beliau bekerja sebagai tukang jam. Dan membuka toko perbaikan jam. Jika tidak ada pengunjung toko, maka beliau menyibukkan diri dengan belajar.

Tetap menambah ilmu walaupun ajal di depan mata

- Di riwayatkan bahwa ada seseorang yang telah lanjut usia menitip pertanyaan kepada murid Imam Ahmad bin Hanbal untuk diteruskan kepada sang guru, apakah masih perlu ia menuntut ilmu? Imam Ahmad menjawab, ”Kalau  ia masih pantas untuk hidup, maka pantas pula ia menuntut ilmu.” Dalam kesempatan lain Imam Ahmad ditanya, “Sampai kapankah seseorang belajar?” Beliau menjawab, ”Sampai kamu masuk kubur!”  Untuk keperluan menuntut ilmu, Imam Ahmad pernah berangkat dari Madinah ke Baghdad belajar kepada Imam As-Shon’aniy dengan perjalanan berhari-hari.
- Imam As Subki saat itu menderita demam selama beberapa hari. Beliau sendiri memiliki majelis yang membahas Sirah Ibnu Hisyam. Waktu itu, seorang penulis para periwayat datang dan ia tahu beliau sedang demam. “Orang-orang telah berkumpul, saya hampir saja membatalkannya.” Katanya. As Subki menjawab,”Demi Allah, saya tidak akan membatalkan majelis yang disebutkan di dalamnya perjalanan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.” Akhirnya, beliau dengan kepayahan membaca di majelis tersebut.
Setelah beberapa bulan di Damaskus, beliau melakukan perjalanan ke Mesir. Beliau seakan-akan merasa bahwa ajal sudah dekat, hingga beliau mengatakan kepada putranya Taaj Ad Din As Subki, bahwa beliau tidak meninggal kecuali di negeri itu. Akhirnya, setelah sampai Mesir, beberapa hari kemudian beliau wafat. Peristiwa itu terjadi tahun 756 H.
Setelah ditelisik, diketahui, beliau sakit karena diracuni. Sebelum meninggal, beliau berpesan kepada beberapa sahabat, bahwa beliau telah diracuni, dan beliau sendiri mengetahui siapa pelakunya, tapi beliau enggan menyebutnya. (Thabaqat As Syafi’iyah Al Kubra, 10/315,316)
- Adalah Imam Abu Yusuf, salah satu murid dan sahabat Abu Hanifah. Penyebar madzhab Hanafi ini diangkat menjadi hakim kekhalifahan Abbasiyah semasa pemerintahan Al Hadi, Al Mahdi dan Ar Rasyid.
Ulama yang lahir tahun 113 H ini masih terus menyebarkan ilmu, bahkan sampai di saat detik-datik akhir umurnya. Murid beliau, Qadhi Ibrahim bin Al Jirah Al Mishri menuturkan,”Abu Yusuf sakit, lalu saya datang untuk menjenguknya. Saya temui beliau dalam keadaan pingsan. Setelah sadar, beliau berkata kepada saya,’Wahai Ibrahim, bagaimana pendapatmu tentang sebuah kasus?’ Saya menjawab, ’Dalam keadaan seperti ini?!’ Beliau membalas,’Tidak mengapa, mudah-mudahan hal itu bisa menyelamatkan.’”
Abu Yusuf mengatakan,”Wahai Ibrahim, mana yang lebih utama, melempar jimarat dengan berjalan kaki atau melempar dengan naik kendaraan?” Ibrahim menjawab,”Naik kendaraan.” Beliau mengatakan,”Salah.” Ibrahim menjawab, ”Berjalan.” Beliau mengatakan, ”Salah.” Ibrahim akhirnya mengatakan,”Sampaikan pendapat Anda mengenai masalah ini, semoga Allah meridhai Anda.”
Lalu Abu Yusuf mengatakan,” Jika bermaksud berhenti, untuk berdoa di tempat itu, maka labih utama berjalan. Jika tidak, maka lebih utama naik kendaraan.”
Setelah itu Ibrahim beranjak dari tempat duduk dan meninggalkan Abu Yusuf. Namun ketika sampai di pintu rumah gurunya itu, beliau mendengar suara jeritan untuk Abu Yusuf. Ternyata Abu Yusuf telah wafat. Rahimahullah Ta’ala. (Qimah Az Zaman indza Al Ulama’, hal. 28).
- Diantara para ulama besar, yang tetap menjaga waktu mereka, walau ajal hendak menjemput adalah Ibnu Malik, ulama nahwu, yang lahir pada tahun 600 H. Ulama ini semasa hidupnya banyak membaca dan mengulang.
Fenomena yang mungkin amat aneh di zaman ini, adalah semangat beliau dalam memperoleh ilmu. Dimana beliau sempat menghafal delapan bait, di hari kematian beliau. Di saat beliau sedang sakit keras, putranya membantu mendiktekan bait tersebut. Rahimahullah Ta’ala. (Nafh At Thayib, 2/222, 229).
Kitab Alfiyah, yang kini menjadi salah satu referensi induk dalam bidang nahwu adalah salah satu karya beliau. Kini kitab itu digunakan di ratusan atau bahkan mungkin ribuan pesantren di dunia Islam. Kesungguhan Ibnu Malik telah memudahkan para pencari ilmu menghafal kaidah-kaidah bahasa Arab.
- Syu’bah bin Hajjaj Rahimahullah datang menemui Khalid al-Hadza’ Rahimahullah. Lalu Syu’bah bin Hajjaj berkata : “Wahai Abu Munazil (Khalid al-Hadza’), engkau memiliki hadits tentang ini dan ini, tolong ajari aku.” Khalid ketika itu sedang sakit dan dia berkata : “Saya sedang sakit.” Syu’bah bin Hajjaj berkata : “Hanya satu hadits saja, tolong ajarkan aku.” Kemudian Khalid memberitahukan hadits tersebut. Setelah selesai, Syu’bah berkata kepadanya : “Sekarang anda boleh mati, kalau mau.” [Syarafu Ashhabil Hadits (hal 116), Khatib al-Baghdadi]
Syu’bah juga bercerita : “Saya menjual bejana warisan ibu saya seharga tujuh dinar untuk biaya belajar.” [Tadzkiratul Huffazh (1/195), Adz-Dzahabi]
Imam Ahmad Rahimahullah bercerita : “Syu’bah tinggal di tempat Hakam bin Utbah, selama 18 bulan. Beliau menjual penyangga dan tiang rumahnya untuk biaya belajar.” [Al’Ilal bi Ma’rifatir Rijal, Imam Ahmad]

2. Keteladan para ulama dalam meraih ilmu, dengan membaca, mencatat serta  membukukannya
- Al-Muzani berkata: "Saya membaca kitab Risalah karya asy-Syafi'i sejak lima tahun yang lalu, setiap kali aku membacanya saya mendapatkan faedah baru yang belum aku dapatkan sebelumnva." (Manaqib Syafi'i hlm. 114 oleh al-Aburri)
- Ibnu Basykuwal menceritakan bahwa Abu Bakr bin Athiyyah mengulang-ngulang membaca kitab Shohih Bukhori sebanyak 700 Kali (ash-Shilah 2/433)
- Disebutkan dalam biografi Abbas bin Walid al-Farisi bahwa ditemukan dalam sebagian akhir kitabnya suatu tulisan. "Saya telah membacanya sebanyak 1.000 kali. !!! (Thobaqot Ulama Afrika wa Tunis hlm. 224)
- Abdulloh bin Muhammad, ahli fiqih dari Irak, beliau pernah membaca kitab al-Mughni karya Ibnu Qudamah (sekarang tercetak dengan 15 jilid) sebanyak 23 kali!! (Dzail Thobaqot Hanabilah 2/411)
- As-Sam'ani menceritakan bahwa Imam al-Baihaqi pernah tertimpa penyakit di tangannya, sehingga jari-jemarinya dipotong semua, hanya tinggal pergelangan tangan saja. Sekalipun demikian, beliau tidak berhenti dari menulis, beliau mengambil pena dengan pergelangan tangannya dan meletakkan kertas di tanah seraya memeganginya dengan kakinya, lalu menulis dengan tulisan yang indah dan jelas. Demikianlah hari-harinya, sehingga setiap hari dia dapat menulis dengan tangannya kurang lebih sepuluh lembar. "Sungguh, ini adalah pemandangan sangat menakjubkan yang pernah saya lihat darinya," kata as-Sam'ani. (at-Tahbir fil Mu'jam Kabir 1/223)
- Termasuk semangat yang menakjubkan pula adalah semangat Imam Ibnu Aqil yang telah menulis sebuah karya terbesar di dunia yaitu al-Funun. Tahukah Anda berapa jilid kitab tersebut? Sebagian mengatakan sebanyak 800 jilid dan ada yang mengatakan 400 jilid. Imam adz-Dzahabi berkata: "Belum pernah ada di dunia ini kitab yang lebih besar darinya. Seseorang pernah menceritakan kepadaku bahwa dia pernah mendapati juz yang empat ratus lebih dari kitab tersebut." (Tarikh Islam 4/29)
Sekalipun demikian besarnya kitab ini, tetapi sayangnya kitab ini termasuk perbendaharan umat Islam yang hilang, belum diketahui sampai sekarang kecuali hanya satu jilid saja yang ditemukan di perpustakaan Paris dan dicetak dalam dua jilid pada tahun 1970-1971. (Muqoddimah Kamil Muhammad Khorroth terhadap Zahrul Ghushun min Kitabil Funun hlm. 6)
- Imam Ibnu Tabban adalah seorang ulama yang bersemangat sangat tinggi dalam menuntut ilmu, sehingga dia pernah mempelajari kitab al-Mudawwanah sebanyak 1000 kali!!!

Dia pernah berkata tentang dirinya: "Dahulu ketika saya awal-awal menuntut ilmu, saya gunakan seluruh malam untuk belajar, sehingga ibuku pernah melarangku dari membaca di malam hari. Akhirnya saya bersiasat untuk membuat lampu dan menaruhnya di bawah tempat tidur lalu saya berpura-pura tidur. Ketika saya rasa bahwa ibuku benar-benar telah tidur, maka saya keluarkan lampu dan melanjutkan belajar." (Tartibul Madarik 1/78 al-Qodhi Iyadh).

Jangan remehkan sebuah faidah ilmu walaupun sedikit
- Imam Asy-Syafi’i Rahimahullah bercerita : “Saya seorang yatim yang tinggal bersama ibu saya. Ia menyerahkan saya ke kuttab (sekolah yang ada di masjid). Dia tidak memiliki sesuatu yang bisa diberikan kepada sang pengajar sebagai upahnya karena mengajari saya. Saya mendengar darinya (guru) hadits atau pelajaran, kemudian saya menghafalnya. Ibu saya tidak memiliki sesuatu untuk membeli kertas. Maka setiap saya menemukan sebuah tulang putih, saya mengambilnya dan menulis diatasnya. Apabila sudah penuh tulisanya, saya menaruhnya didalam guci/botol besar yang sudah tua.” [Jami’u Bayanil Ilmi wa Fadhlihi (1/98), Ibnu Abdil Baar)
Al-Humaidi menceritakan bahwa dirinya tatkala di Mesir pernah keluar pada suatu malam, ternyata lampu rumah Syafi’I masih nyala. Tatkala dia naik ternyata dia mendapati kertas dan alat tulis. Dia berkata: Apa semua ini wahai Abu Abdillah (Syafi’i)?! Beliau menjawab: Saya teringat tentang makna suatu hadits dan saya khawatir akan hilang dariku, maka sayapun segara menyalakan lampu dan menulisnya” (Adab Syafi’I wa Manaqibuhu Ibnu Abi Hatim hal. 44-45.)
- Az-Zarkasyi (794 H). Diceritakan oleh Ibnu Hajar bahwa beliau sering sekali pergi ke pasar buku, kalau dia datang ke sana dia menelaah di toko buku sepanjang siang, dia menulis masalah-masalah yang menarik di sebuah kertas, kemudian apabila dia pulang ke rumah dia salin ke kitab-kitab karyanya (Ad-Durar Al-Kaminah 3/397-398)
- Imam Nawawy berkata: Janganlah sekali-kali seseorang meremehkan suatu faidah (ilmu) yang ia lihat atau dengar. Segeralah ia tulis dan sering-sering mengulang kembali.(Al majmu' syarhul muhadzab 1/39)
- Al-Imam al-Bukhary dalam semalam seringkali terbangun, menyalakan lampu, menulis apa yang teringat dalam benaknya, kemudian beranjak akan tidur, terbangun lagi , dan seterusnya hingga 18 kali.
- Abul Qashim bin Ward at-Tamimi (540 H). Diceritakan oleh Ibnu Abbar al-Hafizh bahwa beliau tidak mendapatkan sebuah kitabpun kecuali dia menelaah bagian atas dan bawahnya, kalau beliau menjumpai sebuah faedah padanya maka beliau salin di kertas miliknya sehingga terkumpul banyak sekali. (Mu’jam Ashhabi ash-Shadafhi hal. 25).
Bahkan para ulama menjadikan safar mereka untuk menulis kitab seperti murid muridnya Ibnu qoyyim mencatat apa yang di imlakan gurunya sehingga menjadi sebuah kitab yang di kenal zaadul ma'ad, Imam As-Shobuniy menulis kitab Aqidah ash habul hadits ketika safar dan bnyak lagi ulama salaf mereka membukukan ilmu ketika safar.

3. Keteladan  para ulama dalam pengorbanan waktu, harta dan jiwa untuk mencari ilmu
- Imam Abu Hatim Ar-Razi Rahimahullah berkata : “Saya tinggal di Bashrah selama delapan bulan pada tahun 241 H. Didalam hati saya ingin tinggal selama setahun (agar bisa berlajar ilmu lagi), tetapi saya kehabisan nafkah. Maka saya menjual pakaian-pakaian saya sedikit demi sedikit, sampai saya betul-betul tidak memiliki nafkah lagi.” [Al-Jarh wa Ta’dil (hal 363), Ibnu Abi Hatim]
Imam Abu Hatim Ar-Razi Rahimahullah juga bercerita : “Kami berada di Mesir selama tujuh bulan dan tidak pernah merasakan kuah makanan (karena sibuk untuk belajar sehingga tidak ada waktu untuk memasak makanan yang berkuah). Siang hari kami berkeliling ke para Masyaikh (guru) dan malam hari kami gunakan untuk menulis dan mengoreksi catatan kami.
Suatu hari, saya bersama seorang teman mendatangi salah seorang Syaikh. Dikabarkan kepada kami bahwa beliau sedang sakit. Kami pulang melewati sebuah pasar dan tertarik pada ikan yang sedang dijual. Kami membelinya. Setelah sampai dirumah, ternyata waktu kajian untuk Syaikh yang lain sudah tiba. Maka kamipun segera pergi ke sana (dan meninggalkan ikan tersebut dengan harapan bisa dimasak dilain waktu).
Lebih dari tiga hari ikan tersebut belum sempat dimasak karena kesibukan menuntut ilmu, hingga hampir busuk. Kami memakan nya mentah-mentah karena tidak punya waktu untuk menggorengnya. “Ilmu itu tidak akan bisa diraih dengan badan yang santai.” (Al-Jarh wa Ta’dil (1/5), Ibnu Abi Hatim)
- Muhammad bin Thahir Al-Maqdisi Rahimahullah bercerita : “Saya tinggal di Tunis bersama Abu Muhammad bin Al-Haddad Rahimahullah. Bekal saya semakin menipis hingga yang tersisa hanya satu dirham saja. Saat itu saya butuh roti dan kertas untuk menulis. Saya bingung, kalau saya belikan roti, maka saya tidak ada (uang untuk) beli kertas untuk menulis. Jika dipakai beli kertas maka saya tidak akan makan roti. Kebingungan ini berlanjut sampai tiga hari dan selama itu pula saya tidak merasakan makan sama sekali.
Pada pagi hari keempat, dalalam hati, saya berkata : “Kalau saya punya kertas, saya tidak akan bisa menulis karena sangat lapar.” Saya letakan dirham itu dimulut dan mengeluarkan untuk membeli roti. Tanpa terasa saya telah menelan dirham tersebut, saya tertawa. Abu Thahir mendatangi saya dan bertanya : “Apa yang membuat anda tertawa?” Saya menjawab : “Sesuatu yang baik.” Beliau meminta saya untuk menceritakan nya, tetapi saya menolak. Ia terus menerus memaksa sehingga saya ceritakan permasalahan nya. Beliau mengajak saya ke rumahnya dan memberi saya makanan.” (Tadzkiratul Huffazh (4/1246 dengan saduran), Adz-Dzahabi)
Beliau juga bercerita : “Saya pernah kencing darah dua kali saat belajar hadits, sekali di Baghdad dan sekali lagi di Mekkah. Karena saya berjalan tanpa alas kaki di Baghdad dan di Mekkah dibawah terik sinar matahari yang menyengat, sehingga saya mengalami hal tersebut. Saya tidak pernah naik kendaraan sama sekali ketika belajar hadits kecuali sekali saja dan saya membawa kitab di pundak saya.” (Tadzkiratul Huffazh (4/124), Adz-Dzahabi)
- Imam Al-Bukhari Rahimahullah bercerita : “Saya menemui Adam bin Abi Iyyas Rahimahullah di Asqalan untuk belajar darinya. Bekal saya semakin berkurang hingga saya makan rerumputan. Saya tidak menceritakan nya kepada seorangpun. Dihari ketiga saya didatangi seseorang yang saya tidak kenal dan memberiku bungkusan yang didalamnya berisi dinar. Ia berkata : “Nafkahlanlah untuk dirimu sendiri.” (Tabaqatus Syafi’iyah Al-Kubra (2/227), As-Subki)
Umar bin Hafs Al-Asyqar Rahimahullah berkata : “Suatu hari kami kehilangan Imam al-Bukhari Rahimahullah ketika menulis hadits di Bashrah. Kami mencari beliau dan mendapati nya sedang berada dirumahnya, beliau tidak berpakaian. Semua yang beliau memiliki telah habis sehingga beliau tidak memiliki harta lagi. Kami berkumpul dan sepakat untuk mengumpulkan beberapa dirham dan membelikan beliau pakaian dan memberikan nya. Kemudian beliau dan mengajari kami hadits.” (Tarikh Baghdad (2/13), Khatib al-Baghdadi)
Ibnu Qashim Rahimahullah berkata : “Karena fakirnya, Imam Malik Rahimahullah berupaya menuntut ilmu hingga menghabiskan atap rumahnya, kayunya dijual. Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala membukakan dunia dan memberi nya rezki. Imam Malik berkata : “Ilmu tidak akan bisa diraih, hingga merasakan nikmatnya kefakiran karena nya.” (Tartibul Madarik (1/130), Qadhi Iyadh)
- Ibnu Khalqan Rahimahullah bercerita : Imam Muhammad Ibnu Syihab Az-Zuhri, seorang toko ulama besar dalam ilmu hadits, apabila beliau duduk dirumahnya ia menaruh kitab-kitabnya disampingnya. Beliau membacanya, sehingga ia tidak lagi memperhatikan semua urusan dunia nya. Suatu hari isterinya berkata : “Demi Allah, Kitab-kitab nya ini lebih berat bagi saya dari tiga ora ng isterinya yang lain.” (Wafiyatul A’yan (3/317), Ibnu Khalqan)
- Imam Ibnu Jauzi Rahimahullah bercerita : “Ketahuilah wahai puteraku, sesungguhnya ayahku dahulunya kaya dan meninggalkan ribuan dirham. Ketika saya dewasa, ia memberi saya dua puluh dinar dan dua rumah seraya berkata kepada saya : “Inilah warisan semuanya” saya mengambil dinar tersebut untuk membeli kitab-kitab para ulama. Saya menjual kedua rumah tersebut dan saya gunakan untuk biaya belajar, sehingga tidak ada lagi harta yang tersisa buat saya.” (Lathaiful Kabid fi Nasihatil Walad, Ibnu Jauzi)
Beliau juga bercerita : “Saya telah menulis dengan dua jari saya ini 2.000 jilid kitab. Dan orang-orang bertaubat lewat tangan saya ini 100.000 orang.” (Tadzkiratul Huffazh (4/1242), Adz-Dzahabi)

Mereka (para ulama) rela membujang demi Ilmu
Bisyr al-Hafi lahir pada tahun 150 H di Murwa, kemudian pindah dan tinggal di Baghdad. Beliau seorang yang zahid, ahli hadis dan ahli fikih. Beliau adalah orang yang sangat terpercaya dalam periwayatan hadis dan merupakan orang yang langka pada zamannya.
Beliau mengambil hadis dari Hammad bin Zaid, Abdullah bin Mubarak, Abdurrahman Ibnu Mahdi, Malik bin Anas, Abu Bakr bin ‘Ayyasy, Fudhail Ibnu ‘Ayyadh dan lainya. Di antara ulama yang mengambil hadis dan ilmu dari beliau adalah Ahmad Ibnu Hanbal, Ibrahim al-Harbi, Zuhair Ibnu Harb, Sariyyun as-Saqthiyyu, al-‘Abbas Ibnu Abdul ‘Adzim, Muhammad Ibnu Hatim dan lainnya.
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah mengatakan, “Bisyr bisa melakukan seperti itu; ibadah, zuhud, wara’ dan ibadah-ibadah utama lainnya, karena dia hidup sendirian (membujang) dan tidak memiliki keluarga. Kondisinya akan berbeda antara orang yang memiliki keluarga dengan orang yang hidup sendirian”.
Di hari kematian beliau, hamper seluruh penduduk Baghdad ikut menghantarkan jenazahnya. Karena begitu sesaknya, hingga jenazah beliau yang sebetulnya hendak di kubur pada pagi hari, tidak bisa selesai dengan cepat. Jenazah beliau baru sampai ke tempat pemakaman ketika malam sudah menjelang.(Tarikhu Baghdad, Al-Khatib al-Baghdadi, 7/67-80.)
Ibnu Jarir ath-Thabari beliau adalah ulama ahli hujjah, seorang ahli tafsir, ahli hadist, ahli fikih, ahli ushul, ahli qira’at, sejarawan, ahli bahasa, ahli nahwu, ahli ‘arudh, sastrawan, penyair, seorang muhaqqiq, seorang mujtahid muthlaq. Dalam dirinya terkumpul semua ilmu pengetahuan yang membanggakan, mempunyai karya yang luar biasa banyaknya, dan memiliki popularitas yang tidak bisa dibatasi oleh tempat dan waktu.
Diceritakan bahwa selama 40 tahun, setiap harinya beliau menulis sekitar 40 lembar kertas. Dan jika dihitung dari masa hidup hingga wafatnya, kemudian dibandingan dengan jumlah keseluruhan banyaknya buku yang beliau tulis, maka setiap harinya beliau telah menulis sebanyak 14 lembar kertas. Sesuatu yang tak mungkin dilakukan seorang manusia kecuali atas taufiq dari Allah Ta’ala.
Beliau meninggal dunia dalam keadaan membujang ketika umur 86 tahun di bulan Syawal pada tahun 310 H. Beliau hanya meninggalkan segudang ilmu pengetahuan bagi generasi berikutnya (Mu’jamul Udaba, Yaqut al-Hamawiy, 18/40-96.)
Abu Bakr Ibnul Anbari Nama lengkap beliau adalah Muhammad Ibnul Qasim Ibnu Muhammad. Seorang ahli nahwu, ahli tafsir, sastrawan, perawi hadits, dan sangat banyak hafalannya. Beliau lahir di Baghdad tahun 271 H dan wafat tahun 328 H.
Beliau adalah sosok ulama yang tidak ingin makan dengan makanan yang enak-enak. Ketika beliau disuguhi makanan yang enak oleh raja saat itu, makanan tersebut tetap utuh, tidak dimakan sedikitpun oleh beliau. Beliau tidak punya keinginan mendekati wanita dikarenakan lebih mengutamakan konsentrasi dalam menuntut ilmu. Hafalan beliau sangat menakjubkan, ilmunya sangat mengagumkan dan zuhudnya sangat mengesankan.
Beliau telah banyak menulis tentang Ulumul Qur’an, Gharibul Hadits wal Musykil dan al-Waqf wal Ibtida. Beliau hafal sekitar 300 ribu bait syair, hafal Al-Qur’an dan beliau menulis buku dari hasil hafalannya, bukan dari sebuah buku (Tarikhul Baghdad, Al-Khatib al-Baghdadi, 3/181-186.)
Selain dari mereka, masih banyak ulama lain yang hidupnya membujang, tidak menikah, di antaranya; Abu Ali al-Ju’fi (al-Hafidz al-Muqri), Abus Sari al-Kufi (al-Muhaddis), Abu Nashr as-Sajziy (al-Hafidz al-Imam), Abu Sa’din as-Samman ar-Razi (al-Muhaddis al-Faqih), Abul Barakat al-Anmathi (al-Hafidz al-Alim), Ibnul Khasyab al-Baghdadi (al-Mufassir al-Muqri al-Muhaddis), Abul Fath Nashihuddin al-Hanbali (Faqihul ‘Iraq), Jamaluddin al-Qifthi (al-Adib an-Nahwi al-Muarrikh), al-Imam an-Nawawi (al-Muhaddis), Ibnu Taimiyyah (syaikhul Islam) dan lainnya.

4. keteladanan para ulama dalam mema'murkan dan meramaikan majlis majlis ilmu
Para ulama telah memberikan contoh terbaik bagaimana keteladanan mereka dalam menuntut ilmu dan hadir di majlis majlis ta'lim hal ini karena besarnya keutamaan hadir di majlis ilmu sebagimana sabdanya:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْجَنَّةِ فَارْتَعُوا قَالُوا وَمَا رِيَاضُ الْجَنَّةِ قَالَ حِلَقُ الذِّكْرِ
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Jika kamu melewati taman-taman surga, maka singgahlah dengan senang.” Para sahabat bertanya,”Apakah taman-taman surga itu?” Beliau menjawab,”Halaqah-halaqah (kelompok-kelompok) dzikir.” (HR Tirmidzi, no. 3510 dan lainnya. Lihat Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah, no. 2562.)
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,”Barangsiapa ingin menempati taman-taman surga di dunia, hendaklah dia menempati majlis-majlis dzikir; karena ia adalah taman-taman surga.”(Al Wabilush Shayyib, hlm. 145.)
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:
لَا يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُونَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا حَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ 

Tidaklah sekelompok orang duduk berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, kecuali para malaikat mengelilingi mereka, rahmat (Allah) meliputi mereka, ketentraman turun kepada mereka, dan Allah menyebut-nyebut mereka di hadapan (para malaikat) yang ada di sisiNya.(HR Muslim, no. 2700)
Berikut ini beberapa buktinya bagaimana  para ulama berdesak desakan untuk menuntut ilmu di majlis majlis imu:
- Ja’far bin Durustuwaish Rahimahullah bercerita : “Kami mengambil tempat duduk karena terlalu padat disebuah majelis kajian Ali bin Al-Madini Rahimahullah pada waktu Ashar untuk kajian esoknya. Kami menempatinya sepanjang malam, karena khawatir esoknya tidak mendapatkan tempat untuk mendengarkan kajian nya, karena penuh sesaknya manusia. Saya melihat seorang yang sudah tua di majelis tersebut, kencing di jubahnya, karena khawatir tempat duduknya diambil apabila ia berdiri untuk kencing.” (Al-Jami’ li Akhlaqir Rawi wa Adabis Sami’ (2/199), Khatib al-Baghdadi)

- Ishaq bin Abi Israil mengatakan: "Para penuntut ilmu hadits berdesakan pada Husyaim sehingga membuatnya terjatuh dari keledainya, dan itulah faktor penyebab kematiannya. " (Manaqib Imam Syafi'i hlm. 167-168 oleh al-Aburri dan al-'Uzlah hlm. 89 oleh al-Khothobi)

Mirip dengan ini adalah kisah tentang sebab kematian seorang ahli nahwu tersohor yaitu Tsa'lab. Dikisahkan bahwa dia pernah keluar dari masjid usai sholat Ashar pada hari Jum'at. Beliau memang sedikit tuli. Di tengah-tengah asyik membaca kitab sambil berjalan, tiba-tiba ada kuda yang menabraknya sehingga dia tersungkur di sebuah lubang. Akhirnya dia ditolong dan dikeluarkan dalam keadaan berlumpur kemudian diantarkan ke rumah. Setelah itu dia merasakan sakit di bagian kepalanya dan keesokan harinya meninggal dunia. (Wafayatul A'yan 1/104 oleh Ibnu Khollikan)
- Jumlah orang yang hadir di majelis ilmu Ashim bin Ali sebanyak seratus enam puluh ribu orang. (Tarikh Baghdad 12/248)

- Jumlah orang yang hadir di majelis ilmu Sulaiman bin Harb sebanyak empat puluh ribu orang. (al-Jarh wa Ta'dil 4/108)

- Jumlah orang yang hadir di majelis ilmu Imam Bukhori sebanyak dua puluh ribu orang lebih. (al-Jami' li Akhlaq Rowi 2/53)

- Jumlah orang yang hadir di majelis ilmu Abu Muslim al-Kajji sebanyak empat puluh ribu orang lebih. (Tarikh Baghdad 6/1211) .

- Ibnu Jandal al-Qurthuby Rahimahullah bercerita : “Saya pernah belajar kepada Ibnu Mujahid. Suatu hari saya mendatanginya sebelum fajar agar saya bisa duduk lebih dekat dengan nya. Ketika saya sampai di gerbang pintu yang menghubungkan ke majelisnya, saya dapati pintu itu tertutup dan saya kesulitan membukanya. Saya berkata : “Subhanallah, saya datang sepagi ini, tetapi saya tetap saja tidak bisa duduk didekatnya.” Kemudian saya melihat sebuah terowongan disamping rumahnya. Saya membuka dan masuk kedalamnya. Ketika sampai di pertengahan terowongan yang semakin menyempit, saya tidak bisa keluar ataupun kembali. Saya membuka terowongan selebar – lebarnya agar bisa keluar. Pakaian saya terkoyak, dinding terowongan membekas ditubuh saya, dan sebagian daging badan saya terkelupas. Allah Subhanahu wa ta’ala menolong saya untuk bisa keluar darinya, mendapatkan majelis Syaikh dan menghadirinya, sementara saya dalam keadaan yang sangat memalukan seperti itu.” (Inaabatur Ruwat ala Anbain Nuhaat 3/363).
Waullahu A'lam