MUQODDIMAH
Segala
Puji hanya milik Alloh, kita memuji-Nya,meminta pertolongan dan mohon ampunankepada-Nya. Dan kita berlindung kepada Allohdari
kejelekan-kejelekan jiwa kita, dan keburukan-keburukan
amalan kita. Barang siapa yang diberipetunjuk oleh Alloh maka tidak ada
yang mampumenyesatkannya. Dan barang siapa
yang disesatkan-Nya maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk.Dan aku
bersaksi bahwa tidak ada yang berhakuntuk disembah kecuali Alloh dan aku
bersaksi bahwaMuhammad itu adalah hamba dan utusan-Nya.
“
Hai orang-orang yang beriman! Bertakwalah
kalian kepadaAlloh dengan sebenar-benar takwa dan janganlahsekali-kali
kalian mati melainkan dalam keadaanIslam” (QS. Ali Imron:102)“
Hai
sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu
dari diri yang satu, dan dari padanya Alloh menciptakan istrinya;
dan dari keduanya Alloh memperkembangbiakan laki-laki dan perempuan
yang banyak. Dan bertakwalah kepada Alloh yang dengan (mempergunakan)
nama-Nya kamu saling meminta satu dengan yang lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturahim.
Sesungguhnya Alloh selalu menjaga dan mengawasi kamu ”. (QS.
An-Nisa: 1).
Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Alloh dan katakanlah
perkataan yang benar, niscaya Alloh memperbaiki bagimu
amalan- amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barang siapa
mentaati Alloh dan Rosul-Nya, maka sesungguhnya
ia telah mendapat kemenangan yang besar ”. (QS: Al-Ahzab: 70-71)
Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalahKitab
Alloh dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shollallohu alaihi was sallam danseburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan.Dan
setiap yang diada-adakan (dalam agama)
adalah bid’ah, dan setiap kebid’ahan adalah sesat, dan setiap kesesatan
di neraka
Siapakan
mahrom anda………….?
Banyak sekali hukum tentang
pergaulan wanita muslimah yang berkaitan erat dengan masalah mahram, seperti
hukum safar, khalwat (berdua-duaan),berjabat tangan, pernikahan, perwalian dan lain-lain.
Ironisnya, masih banyak dari kalangan kaum muslimin yang tidak memahaminya,
bahkan mengucapkan istilahnya saja masih salah, misalkan mereka menyebut dengan
“Muhrim” padahal muhrim itu artinya adalah orang yang sedang berihram untuk
haji atau umroh. Dari sinilah, maka kami mengangkat masalah ini agar menjadi
bashirah (pelita) bagi umat. Wallahu Al Muwaffiq.
Definisi Mahram
Berkata Imam Ibnu Qudamah rahimahullah, “Mahram adalah semua orang yang haram untuk dinikahi selama-lamanya karena seba nasab, persusuan dan pernikahan.” [Al-Mughni 6/555]
Berkata Imam Ibnu Atsir rahimahullah, ” Mahram adalah orang-orang yang haram untuk dinikahi selama-lamanya seperti bapak, anak, saudara, paman, dan lain-lain”. [An- Nihayah 1/373]
Maka secara umum mahram adalah bagian dari keluarga perempuan yang tidak boleh untuk dinikahi. Inilah yang dimaksud dengan pengertian mahram dalam islam.
Definisi Mahram
Berkata Imam Ibnu Qudamah rahimahullah, “Mahram adalah semua orang yang haram untuk dinikahi selama-lamanya karena seba nasab, persusuan dan pernikahan.” [Al-Mughni 6/555]
Berkata Imam Ibnu Atsir rahimahullah, ” Mahram adalah orang-orang yang haram untuk dinikahi selama-lamanya seperti bapak, anak, saudara, paman, dan lain-lain”. [An- Nihayah 1/373]
Maka secara umum mahram adalah bagian dari keluarga perempuan yang tidak boleh untuk dinikahi. Inilah yang dimaksud dengan pengertian mahram dalam islam.
Jenis kelompok mahram ini terbagi menjadi 3 kategori yaitu :
- Mahram karena
nasab (keturunan).
- Mahram karena
penyusuan.
- Mahram
mushaharah (kekeluargaan kerena pernikahan).
Definisi mahram seperti apa yang telah diutarakan oleh Imam
an-Nawawi yang termasuk dalam batasannya adalah setiap wanita yang haram untuk
dinikahi selamanya, disebab sesuatu yang mubah, atau karena sebab statusnya
yang haram. (Syarah Shahih Muslim, An-Nawawi, 9:105).
Disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,
وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آَبَاؤُكُمْ
مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا
وَسَاءَ سَبِيلًا حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ
أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ
وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ
وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي
فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ
تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ
الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا
قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا
مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ
ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ
“Dan
janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali
pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci
Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas kamu (mengawini)
ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan,
saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan;
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan
dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara
perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam
pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum
campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu
mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu);
dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali
yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang. Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami,
kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai
ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu)
mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina.”
(QS. An Nisa’: 22-24)
Dari barro’ radhiallahu ‘anhu
bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah memerintahkan kepada
seorang shahabat untuk membunuh lelaki yang menikahi istri ayahnya (ibu
tirinya). An-Nasai meriwayatkan;
لَقِيتُ خَالِي وَمَعَهُ الرَّايَةُ
فَقُلْتُ أَيْنَ تُرِيدُ قَالَ أَرْسَلَنِي
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى رَجُلٍ تَزَوَّجَ
امْرَأَةَ أَبِيهِ مِنْ بَعْدِهِ أَنْ أَضْرِبَ عُنُقَهُ أَوْ أَقْتُلَهُ
Dari Al Barra`, ia berkata; saya
berjumpa dengan pamanku, dan ia membawa bendera. Kemudian saya katakan; engkau
hendak pergi kemana? Ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
mengutusku kepada seorang laki-laki yang menikahi isteri ayahnya setelah
kematiannya, agar saya penggal lehernya atau saya membunuhnya. (H.R.An-Nasai)
Dari abu hurairoh radhiallahu
‘anhu bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda:
لَا يُجْمَعُ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَعَمَّتِهَا وَلَا بَيْنَ
الْمَرْأَةِ وَخَالَتِهَا
Dari Abu Hurairah radliallahu
‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Seorang wanita
tidak boleh dimadu dengan bibinya baik dari jalur ibu atau ayah.” (H.R.Bukhari)
Lafadz Abu Dawud berbunyi;
لاَ تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ عَلَى عَمَّتِهَا
وَلاَ الْعَمَّةُ عَلَى بِنْتِ أَخِيهَا وَلاَ الْمَرْأَةُ عَلَى خَالَتِهَا وَلاَ
الْخَالَةُ عَلَى بِنْتِ أُخْتِهَا وَلاَ تُنْكَحُ الْكُبْرَى عَلَى الصُّغْرَى
وَلاَ الصُّغْرَى عَلَى الْكُبْرَى
Dari Abu Hurairah, ia berkata;
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak boleh seorang wanita
dinikahi sebagai madu bibinya (saudari ayah), dan seorang bibi dinikahi sebagai
madu anak wanita saudara laki-lakinya, dan tidak boleh seorang wanita dinikahi
sebagai madu bibinya (saudari ibu) dan seorang bibi sebagai madu bagi anak
wanita saudara wanitanya. Dan tidak boleh seorang kakak wanita dinikahi sebagai
madu adik wanitanya, dan adik wanita dinikahi sebagai madu kakak wanitanya.”
(H.R.Abu Dawud)
Dari ‘amroh bahwasannya ‘aisyah
radhiallahu ‘anha menghabarkan:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ عِنْدَهَا وَإِنَّهَا سَمِعَتْ صَوْتَ رَجُلٍ
يَسْتَأْذِنُ فِي بَيْتِ حَفْصَةَ قَالَتْ عَائِشَةُ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ
هَذَا رَجُلٌ يَسْتَأْذِنُ فِي بَيْتِكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُرَاهُ فُلَانًا لِعَمِّ حَفْصَةَ مِنْ الرَّضَاعَةِ
فَقَالَتْ عَائِشَةُ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَوْ كَانَ فُلَانٌ حَيًّا لِعَمِّهَا
مِنْ الرَّضَاعَةِ دَخَلَ عَلَيَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ نَعَمْ إِنَّ
الرَّضَاعَةَ تُحَرِّمُ مَا تُحَرِّمُ الْوِلَادَةُ
Dari ‘Amrah bahwasannya Aisyah
telah mengabarkan kepadanya bahwa waktu itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam berada di sampingnya, sedangkan dia (‘Aisyah) mendengar suara seorang
laki-laki sedang minta izin untuk bertemu Rasulullah di rumahnya Hafshah,
‘Aisyah berkata; Maka saya berkata; “Wahai Rasulullah, ada seorang laki-laki
yang minta izin (bertemu denganmu) di rumahnya Hafshah”. Maka Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda: “Saya kira fulan itu adalah pamannya Hafshah dari
saudara sesusuan.” Aisyah bertanya; “Wahai Rasulullah, sekiranya fulan tersebut
masih hidup -yaitu pamannya dari saudara sesusuan- apakah dia boleh masuk pula
ke rumahku?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Ya, sebab
hubungan karena susuan itu menyebabkan Mahram sebagaimana hubungan karena
kelahiran.” (H.R.Muslim)
Lafadz Bukhari berbunyi;
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فِي بِنْتِ حَمْزَةَ لَا تَحِلُّ لِي يَحْرُمُ مِنْ الرَّضَاعِ مَا
يَحْرُمُ مِنْ النَّسَبِ هِيَ بِنْتُ أَخِي مِنْ الرَّضَاعَةِ
Dari Ibnu ‘Abbas radliallahu ‘anhu
berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata tentang putri Hamzah: “Dia
tidak halal bagiku karena apa yang diharamkan karena sepersusuan sama
diharamkan karena keturunan sedangkan dia adalah putri dari saudaraku
sepersusuan”. (H.R.Bukhari)
Wahai sodaraku………….Dengan memahami
ayat di atas sekaligus sejumlah Nash hadis yang lain, dapat kita rinci siapakah
wanita-wanita yang haram dinikahi tersebut
di antaranya sebagai berikut;
1 .Ibu yakni wanita yang melahirkan kita, baik secara hakiki
yakni yang melahirkan secara langsung maupun majazi seperti ibunya ibu,
ibunya ayah, dua nenek ibu, dua nenek ayah, neneknya nenek, neneknya kakek, dan
seterusnya ke atas tanpa membedakan apakah termasuk ahli waris ataukah bukan
2. Putri yakni wanita
yang lahir karena benih kita, baik secara hakiki yakni putri kandung maupun
majazi seperti putrinya putra, putrinya putri dan seterusnya ke bawah
tanpa membedakan apakah termasuk ahli waris ataukah bukan
3.Saudari baik saudari
sekandung, seayah, maupun seibu. Saudari dari tiga arah seperti ini
semuanya termasuk Mahram yang haram dinikahi
4. Bibi yakni saudari
ayah, baik status kekerabatan dengan ayah adalah saudari sekandung, saudari
seayah, maupun saudari seibu. Termasuk definisi ini adalah saudari-saudari
kakek, tanpa membedakan apakah kakek dari pihak ibu ataukah dari pihak ayah,
kakek dekat ataukah jauh, mewarisi ataukah tidak mewarisi. Semuanya dihukumi
Mahram yang haram dinikahi
5. Bibi saudari ibu, baik status kekerabatan dengan ibu adalah
saudari sekandung, saudari seayah, maupun sudari seibu. Termasuk definisi ini
adalah saudari-saudari nenek, tanpa membedakan apakah nenek dari pihak ibu
ataukah dari pihak ayah, nenek dekat ataukah jauh, mewarisi ataukah tidak
mewarisi. Semuanya dihukumi Mahram yang haram dinikahi karena setiap nenek
adalah ibu, sehingga saudari nenek dihukumi bibi matriarkal yang haram dinikahi
6. Putrinya saudara yakni
keponakan/kemenakan perempuan, tanpa membedakan apakah keponakan tersebut
adalah putrinya saudara kandung, saudara seayah ataukah saudara seibu. Putrinya
saudara di sini juga mencakup putri dalam makna hakiki yakni putri kandung
maupun majazi seperti putrinya putra, putrinya putri dan seterusnya ke
bawah tanpa membedakan apakah termasuk ahli waris ataukah bukan
7. Putrinya saudari yakni
keponakan/kemenakan perempuan juga, tanpa membedakan apakah keponakan tersebut
adalah putrinya saudari kandung, saudari seayah ataukah saudari seibu. Putrinya
saudari di sini juga mencakup putri dalam makna hakiki yakni putri kandung
maupun majazi seperti putrinya putra, putrinya putri dan seterusnya ke
bawah tanpa membedakan apakah termasuk ahli waris ataukah bukan
8. Ibu Susu yakni
wanita yang menyusui kita. termasuk dalam definisi ini adalah ibunya ibu
susu, neneknya ibu susu, demikian terus ke atas.
9. Saudari Susu Ibu
susu dihukumi seperti ibu kandung dalam hal kemahraman nikah. karena itu,
wanita yang telah menyusui kita, berarti putri wanita tersebut adalah saudari
kita yang haram dinikahi. Wanita yang disusui ibu kita, berarti wanita tersebut
adalah saudari kita karena ibu kita adalah ibu susunya. Demikian pula jika kita
menyusu pada seorang ibu susu asing dan ada wanita yang juga menyusu pada ibu
susu asing tersebut, dalam kondisi ini wanita itu juga menjadi saudari kita
yang haram dinikahi karena ibu susu kita dengan wanita tersebut adalah ibu susu
yang sama. Bahkan pada kasus Laban Lahl/susu pria (لَبَنُ اْلفَحْلِ)
hukum kemahroman tetap berlaku, meski beda yang menyusui. Maksud istilah Laban
Fahl, ilustrasinya adalah sebagai berikut: Seorang lelaki menikahi empat wanita
kemudian masing-masing digauli sehingga punya anak dan menyusui. Kemudian ada
empat bayi perempuan asing yang masing-masing menyusu pada empat istri lelaki
tersebut, yakni satu bayi mendapat satu ibu susu. Lalu ada satu bayi laki-laki
yang menyusu pada salah satu istri lelaki tersebut. Dalam kondisi ini, seluruh
bayi wanita yang menyusu tadi statusnya adalah saudari bagi bayi lelaki yang
menyusu yang haram dinikahi. Hal itu dikarenakan, meskipun yang menjadi saudari
susu langsung bagi bayi lelaki tadi hanyalah satu bayi wanita (mengingat
keduanya memiliki satu ibu susu yang sama), sementara tiga bayi wanita yang
lain disusui ibu susu yang lain sehingga ibu susunya tidak sama dengan ibu susu
bayi lelaki tersebut, namun tiga bayi wanita tersebut tetap dihukumi saudari
karena seluruh wanita yang menyusui dalam kasus ini bisa menyusui hanya
disebabkan oleh benih yang ditanamkan lelaki yang menjadi suaminya. Jadi,
meskipun air susu para wanita itu berbeda-beda, namun asalnya tetap satu, yakni
benih suaminya. Karena suami yang “berperan” membuat air susu para wanita yang
menjadi istrinya itu bisa keluar, maka “peran” ini dinamakan dengan istilah
Laban Fahl (susu pria). Bukan susu dalam arti hakiki, tapi majazi. Yakni
prialah yang membuat air susu wanita menjadi bisa keluar, sehingga seluruh susu
yang terbit karena perannya ini semuanya dihukumi satu susu, walaupun keluar
dari wanita yang berbeda-beda.
10. Ibu Mertua yakni,
ibu dari istri kita. Jika kita telah menikahi seorang wanita, maka ibu dari
istri kita langsung menjadi Mahram kita baik ibu karena nasab maupun karena
persusuan tanpa membedakan apakah ibu dekat ataukah ibu jauh. Hukum kemahroman
langsung berlaku setelah akad nikah dilakukan, tanpa memperhetikan apakah istri
sudah digauli ataukah tidak.
11. Putri Tiri yakni
putri-putri istri. Namun, syaratnya istri harus disetubuhi agar hukum
kemahroman berlaku. Jika istri sesudah akad nikah belum digauli kemudian
dicerai, maka putri tiri belum menjadi Mahram sehingga boleh dinikahi. Putri
tiri ini tidak dibedakan apakah putri karena nasab ataukah putri karena
persusuan, juga tidak membedakan apakah putri dekat ataukah putri jauh, juga
tidak membedakan apakah putri yang mewarisi ataukah tidak.
12. Menantu Putri yakni
istrinya putra dan juga istri dari putranya putri, tanpa membedakan apakah dari
nasab ataukah persusuan, dekat ataukah jauh. Hukum kemahroman ini berlaku hanya
dengan dilakukannya akad nikah, tanpa memperhatikan apakah wanita sudah digauli
ataukah belum.
13. Ibu tiri yakni istri
ayah, baik ayah dekat maupun ayah jauh, mewarisi ataukah tidak mewarisi, karena
nasab ataukah karena persusuan.
14. Menghimpun
dua saudari yakni menikahi
dua bersaudari untuk dipoligami, tanpa membedakan apakah saudari karena nasab
ataukah karena persusuan, juga tidak membedakan apakah saudari sekandung,
seayah, atau seibu, juga tidak membedakan apakah menghimpun tersebut setelah
menggauli istri yang sah ataukah belum.
15. Menghimpun
wanita dengan bibinya: yakni menikahi seorang wanita dengan dipoligami
bersama bibinya.
16. Wanita yang telah bersuami yakni
wanita yang telah menjalin akad nikah secara sah, meskipun dengan syariat di
luar Islam seperti pernikahan wanita Yahudi atau wanita Nasrani.
17. Semua wanita yang ada hubungan kekerabatan karena persusuan:
misalnya ibu susu, putri karena persusuan, saudari karena persusuan, bibi
karena persusuan, putri saudara karena persusuan, putri saudari kerana
persusuan, dst.
Kesimpulan
Untuk memudahkan kita dalam
memahami kandungan ayat dan hadits hadits di atas maka wanita yg haram di
nikahi terbagi dua kelompok:
1. Wanita yg haram dinikahi untuk selamanya (muabbad)
Adalah wanita-wanita yg haram dinikahi selamanya ada tiga sebab:
• Karena sebab hubungan nasab
- Ibu dan garis ke atasnya
- Anak-anak wanita
- Saudara-saudara perempuan se kandung
- Bibi dari bapak
- Bibi dari Ibu
- Anak-anak perempuan saudara laki-laki se kandung
- Anak-anak perempuan saudara perempuan se kandung
• Karena sebab hubungan perkawinan/besan
- Istri bapak dan garis keturunannya ke atas, baik belum digauli atau pun sudah, seperti istri bapak, istri kakek dari bapak, atau pun istri kakek dari Ibu.
- Istri anak kandung dan keturunannya, baik sebelum digauli ataupun sudah, atau jandanya baik dengan talak atau ditinggal mati suaminya.
- Ibu Istri dan garis keturunannya ke atas seperti mertua wanita dan Ibunya (nenek), baik dari bapak ataupun ibunya.
- Anak perempuan bawaan Istri (anak tiri), bila istri sudah di gauli oleh suaminya. Bila belum, kemudian di talak, maka boleh untuk dinikahi.
• Karena sebab sepersusuan
Susuan yang bisa mengharamkan hubungan nikah pada usia kurang dari 2th. Air susu yang diminum sampai mengkenyangkan.
2. Wanita yg haram dinikahi sementara (muaqqot)
Haram dinikahi karena sebab-sebab sementara, yaitu :
• Saudara kandung istri, sampai bercerai dengan talak atau meninggal.
• Bibi istri dari bapak ataupun dari ibu
• Istri orang lain, hingga berpisah baik dengan cerai atau meninggal
• Wanita dalam masa iddah, sampai berakhir masanya.
• Wanita yang ditalak tiga hingga menikah dengan orang lain kemudian berpisah karena cerai atau meninggal
• Wanita penzina/pelacur hingga bertaubat waullahu ‘alam
1. Wanita yg haram dinikahi untuk selamanya (muabbad)
Adalah wanita-wanita yg haram dinikahi selamanya ada tiga sebab:
• Karena sebab hubungan nasab
- Ibu dan garis ke atasnya
- Anak-anak wanita
- Saudara-saudara perempuan se kandung
- Bibi dari bapak
- Bibi dari Ibu
- Anak-anak perempuan saudara laki-laki se kandung
- Anak-anak perempuan saudara perempuan se kandung
• Karena sebab hubungan perkawinan/besan
- Istri bapak dan garis keturunannya ke atas, baik belum digauli atau pun sudah, seperti istri bapak, istri kakek dari bapak, atau pun istri kakek dari Ibu.
- Istri anak kandung dan keturunannya, baik sebelum digauli ataupun sudah, atau jandanya baik dengan talak atau ditinggal mati suaminya.
- Ibu Istri dan garis keturunannya ke atas seperti mertua wanita dan Ibunya (nenek), baik dari bapak ataupun ibunya.
- Anak perempuan bawaan Istri (anak tiri), bila istri sudah di gauli oleh suaminya. Bila belum, kemudian di talak, maka boleh untuk dinikahi.
• Karena sebab sepersusuan
Susuan yang bisa mengharamkan hubungan nikah pada usia kurang dari 2th. Air susu yang diminum sampai mengkenyangkan.
2. Wanita yg haram dinikahi sementara (muaqqot)
Haram dinikahi karena sebab-sebab sementara, yaitu :
• Saudara kandung istri, sampai bercerai dengan talak atau meninggal.
• Bibi istri dari bapak ataupun dari ibu
• Istri orang lain, hingga berpisah baik dengan cerai atau meninggal
• Wanita dalam masa iddah, sampai berakhir masanya.
• Wanita yang ditalak tiga hingga menikah dengan orang lain kemudian berpisah karena cerai atau meninggal
• Wanita penzina/pelacur hingga bertaubat waullahu ‘alam
Hukum hukum yg berkaitan dengan
mahrom
Hukum hukum seputar anak kandung, angkat, zinah, dan yg di susukan
Banyak kekeliruan pemahaman di
masyarakat mengenai setatus anak susu,
anak zinah, dan anak angkat, sehingga banyak yg menganggap anak angkat
sebagia anak kandung dan dianggap mahrom, anak zinah di walikan oleh bapak
bapak zinahnya karena di anggap mahrom, dan begitu seterusnya, itu di karenakan
ketidak pahaman akan setatus anak anak tersebuat dan hubungan kemahroman.
1. Anak kandung
masalah anak kandung sudah sangat jelas mengenai setatus kemahramannya karena sebagai mana telah di ketahu bahwa sebab orang menjadi mahrom salah satunya adalah garis keturunan atau nasab
1. Anak kandung
masalah anak kandung sudah sangat jelas mengenai setatus kemahramannya karena sebagai mana telah di ketahu bahwa sebab orang menjadi mahrom salah satunya adalah garis keturunan atau nasab
2. Anak susu
Syarat syarat anak susuan bisa memiliki konsekwensi kemahraman.
a. Ibu yang menyusui harus dalam keadaan hidup, bukan diambil dari air susu ibu yang sudah mati.
b. Susu perempuan itu tidak diakibatkan oleh perbuatan haram, seperti zina lalu hamil, maka air susunya itu diakibatkan dari pebuatan haram.
c. Anak yg menyusu itu harus menyusu langsung dari susu ibu tersebut.
d. Anak yg menyusu itu umurnya tidak lebih dari 2 tahun.
e. Air susunya harus murni dan tidak dicampur apapun.
f. Lama menyusuinya setidaknya sampai kenyang dan setidaknya selama satu hari satu malam dan disela-selanya itu tidak diberi makanan lain atau air susu ibu yang lain. Atau setidaknya, sebanyak 15 kali menyusui (sampai kenyang) dan di sela-selanya itu tdk diberi susuan dari ibu yang lain. Atau menyusuinya sampai menyebabkan pertambahan daging dan kuatnya tulang si bayi.
g. Susu ibu tadi, harus disebabkan oleh satu suami. Yakni dalam waktu minimal penyusuan di poin f itu, tdk dilengkapi dengan susu yang diakibatkan oleh suami yang lain. Misalnya setelah disusui lima kali lalu berhenti, lalu si wanita tadi bersuamikan orang lain lalu hamil dan menyusuinya lagi untuk melengkapi sisanya.
h. Air susunya tidak dimuntahkan.
(2). Jika telah memenuhi syarat-syarat diatas, maka kalau si anak itu lelaki, konsekwensinya adalah sebagai berikut:
a. Si anak menjadi muhrim dengan yang menyusuinya itu.
b. Si anak menjadi muhrim dengan ibu dan nenek dari ibu susuannya itu.
c. Si anak menjadi muhrim dengan saudari-saudari dari ibu susuannya itu.
d. Si anak menjadi muhrim dengan anak-anak dan cucu-cucu dari ibu susuannya itu.
e. Si anak menjadi muhrim dengan bibi dari ayah atau ibu dari ibu susuannya itu.
f. Suami ibu susuannya itu jg menjadi ayah susuan dari si anak tsb.
(3). Kalau si anak yang menyusu itu adalah perempuan, maka konsekwensinya, akan menjadi mahram dengan orang sebagai berikut:
a. Suami dari ibu yang menyusuinya.
b. Ayah dari suami ibu yg menyesuainya itu.
c. Anak-anak dan cucu-cucu dari suami ibu susuannya itu.
d. Saudara-saudara dari suami ibu susuannya itu.
e. Paman-paman suami ibu susuannya, baik dari arah ibu atau ayahnya.
f. Saudara-saudara dari ibu susuannya.
g. Anak-anak dan cucu-cucu dari ibu susuannya itu.
h. Ayah dan kakek dari ibu susuannya.
i. Paman-paman dari ibu susuannya, baik dari arah ayah atau ibunya.
(4). Ibu yg menyusui dikatakan ibu susuan dan suami dari ibu susuannya itu dikatakan ayah susuan.
(5). Ibu yg menysui dikatakan ibu susuan dan suami dari ibu susuannya itu dikatakan ayah susuan.
(6). Yg menjadi mahram tsb hanya anak yg menyusu itu, bukan keluarganya, sekalipun ayah dan ibu kandungnya sendiri. Jadi, ibu dan ayah kandungnya tdk menjadi muhrim dg ibu susuanya atau anak2 dan lain2nya itu.
3. Anak angkat
anak angkat secara
nasab bukanlah seperti anak kandung, melainkan anak orang lain, dan secara
syar’i, anak angkat tidak dikenal proses
penggantian nasab, bahkan meski secara hukum manusiawi diakui, tetap saja di
sisi Allah menjadi hal yang haram. Islam tidak mengenal adopsi anak. Sehingga
selamany anak angkat bukan mahrom.
Cara menjadikan anak angkat menjadi mahrom
Di dalam islam ada dua perkara yg bias menjadikan anak angkat
berubah setatusnya menjadi mahrom
1. Hubungan
Pernikahan
Kemahraman karena
pernikahan adalah dengan dinikahkannya anak angkat tersebut dengan
orang-orang yang masih ada hubungan nasab dengan ibu atau ayah angkatnya. Dan
caranya adalah dengan menikahkannya dengan anak perempuan ibu angkatnya.
Sehingga posisi anak tersebut dengan ibu angkatnya sebagai anak menantu. Anak
itu memanggil ibunya sebagai ibu mertua.
Hubungan anak mantu
dengan ibu mertua adalah hubungan mahram, sehingga si ibu mertua dibolehkan
terlihat sebagian auratnya, seperti rambut, tangan dan kaki. Juga dibolehkan
berduaan, misalnya mengantar pergi atau bermobil berdua. Hal itu dibenarkan
karena keduanya menjadi mahram.
2.Hubungan
Persusuan
Persusuan secara
syar’ bisa menyebabkan hubungan mahram antara seorang laki-laki dan wanita.
Dahulu Rasulullah Shalaullhau ‘alahi wasallam pernah disusui oleh Halimah
As-Sa’diyah, sehingga beliau bermahram dengannya dan juga dengan anak
wanitanya, Asy-Syaima’. Dan hal ini telah di jelaskan di atas.
Di
antara hukum hukum yg berkaitan dengan anak angkat
1. Melarang adanya anak angkat yang dianggap sebagai anak kandung dalam segala sisi, berdasarkan firman Allah ta'ala:
“Dan Allah sekali-kali tidak menjadikan anak-anak angkat kalian sebagai anak kandung kalian sendiri. Yang demikian itu hanyalah perkataan kalian di mulut kalian saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil di sisi Allah. Dan jika kalian tidak mengetahui bapak-bapak mereka maka panggillah mereka sebagai saudara-saudara kalian seagama dan maula-maula kalian….” (Al-Ahzab: 4-5)
2. Memutuskan hubungan waris antara anak angkat dengan ayah angkatnya.
3. Dihalalkannya mantan istri anak angkat (setelah perceraian keduanya) untuk dinikahi oleh ayah angkatnya
4. Keharusan istri ayah angkat untuk berhijab dari anak angkatnya, sebagaimana ditunjukkan dalam kisah Sahlah bintu Suhail istri Abu Hudzaifah radhiallahu 'anhu, tatkala Sahlah datang menemui Nabi n lalu menyatakan, “Wahai Rasulullah, kami dulunya menganggap Salim seperti anak kami sendiri. Sementara Allah telah menurunkan ayat tentang pengharaman anak angkat bila diperlakukan seperti anak kandung dalam segala sisi. Padahal Salim ini sudah biasa masuk menemuiku (tanpa hijab)….”
Nabi shalaullahu 'alahi wasallam pun menetapkan kepada Sahlah ketidakbolehan ikhtilath dengan anak angkat setelah turunnya ayat Al-Qur’an tersebut. Jalan keluarnya, beliau menyuruh Sahlah agar memberikan air susunya kepada Salim, dengan lima susuan yang dengannya ia menjadi mahram bagi Salim (yakni sebagai ibu susu, pent.)
5. Ancaman yang ditekankan dan peringatan yang keras bagi orang yang menasabkan dirinya kepada selain ayah kandungnya.
Ini dalil yang jelas sekali, karena Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhu ketika hajjatul wada’ (haji wada’) berusia sepuluh tahun.
4. Anak zinah
Anak hasil zina hanya bermahrom kepada ibunya dan tidak bermahrom kepada ayah yg menzinahinya karena anak zinah tidak dinasabkan secara nasab syar’I kepada lelaki yang menzinai ibu anak tersebut meskipun kita mengetahui bahwa secara hukum kauni qadari anak zina tersebut adalah anaknya.
Dalam arti, Allah Subhanahu wa Ta’ala menakdirkan terciptanya anak zina tersebut sebagai hasil percampuran air mani laki-laki itu dengan wanita yang dizinainya. Akan tetapi secara hukum syar’i, anak itu bukan anaknya karena tercipta dengan sebab yang tidak dibenarkan oleh syariat, yaitu perzinaan. Permasalahan ini masuk dalam keumuman sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Anak yang lahir untuk pemilik kasur (artinya, anak yang dilahirkan oleh istri seseorang atau budak wanitanya adalah miliknya), dan seorang pezina tidak punya hak pada anak hasil perzinaannya.” (Muttafaq ‘alaih dari Abu Hurairah dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha)
Dengan demikian, jika seorang lelaki menghamili seorang wanita dengan perzinaan kemudian dia bermaksud menikahinya dengan alasan untuk menutup aib dan menyelamatkan nasab anak tersebut, maka hal itu haram atasnya dan pernikahannya tidak sah. Karena anak tersebut bukan anaknya menurut hukum syar’i. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama sebagaimana dalam Al-Mughni (6/184-185) dan Syarah Bulughul Maram karya Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu pada Bab ‘Iddah wal ihdad wal istibra`. Dan ini yang difatwakan oleh Al-Lajnah Ad-Da`imah dalam Fatawa mereka (20/387-389).
Berdasarkan hal ini, seluruh hukum nasab antara keduanya pun tidak berlaku. Di antaranya:
Hokum hokum yg berkaitan dengan
anak zinah
a. Keduanya (antara anak dan bapak) tidak saling mewarisi.
b. Lelaki tersebut (bapaknya) tidak wajib memberi nafkah kepadanya.
c. Lelaki tersebut (bapaknya) bukan mahram bagi anak itu (jika dia wanita) kecuali apabila lelaki tersebut menikah dengan ibu anak itu dan telah melakukan hubungan (sah) suami-istri, yang tentunya hal ini setelah keduanya bertaubat dan setelah anak itu lahir, maka anak ini menjadi rabibah-nya (anak tiri) dlm syariat sehingga menjadi mahram.
d. Lelaki tersebut (bapaknya) tidak bisa menjadi wali anak itu dalam pernikahan (jika dia wanita).
Namun bukan berarti laki-laki tersebut boleh menikahi putri zinanya. Yang benar dalam masalah ini, dia tidak boleh menikahinya, sebagaimana pendapat jumhur yang dipilih oleh Syaikhul Islam dan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin. Karena anak itu adalah putrinya secara hukum kauni qadari berasal dari air maninya, sehingga merupakan darah dagingnya sendiri. Dalil yang paling kuat dalam hal ini adalah bahwasanya seorang laki-laki tidak boleh menikahi anak susuannya yang disusui oleh istrinya dengan air susu yang diproduksi dengan sebab digauli olehnya sehingga hamil dan melahirkan. Kalau anak susuan seseorang saja haram atasnya, tentu seorang anak zina yang berasal dari air maninya dan merupakan darah dagingnya sendiri lebih pantas untuk dinyatakan haram atasnya. (Lihat Majmu’ Fatawa, 32/134-137, 138-140, Asy-Syarhul Mumti’, 5/170)
Para ulama menyatakan bahwa seorang anak zina dinasabkan kepada ibu yang melahirkannya, dan keduanya saling mewarisi. Jadi nasab anak tersebut dari jalur ayah tidak ada. Yang ada hanyalah nasab dari jalur ibunya. Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah bahwasanya suami istri yang melakukan li’an3 di hadapan hakim karena suaminya menuduh bahwa anak yang dikandung istrinya adalah hasil perzinaan sedangkan istrinya tidak mengaku lalu keduanya dipisahkan oleh hakim, maka anak yang dikandung wanita itu dinasabkan kepada ibunya dan terputus nasabnya dari jalur ayah. Sebagaimana dalam hadits Sahl bin Sa’d As-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu yang muttafaq ‘alaih.
waullahu ‘alam …………………………
No comments:
Post a Comment